Melihat aku yang kecil

Gambar
Untuk aku yang kecil Hai sayang, Aku lihat kamu sekarang. Duduk sendiri, matamu nunggu sesuatu yang nggak juga datang. Maaf kalau selama ini aku belum benar-benar duduk dan dengerin kamu. Aku dateng sekarang. Aku tahu kamu cuma pengin diperhatiin. Bukan karena kamu pinter, bukan karena kamu nurut, tapi karena kamu ya kamu. Kamu yang suka baca, kamu yang banyak mikir sendiri tapi susah cerita, kamu yang cuma pengin dipeluk tanpa harus minta duluan. Aku juga tahu kamu kesel waktu dibandingin. Kayak apa pun yang kamu lakuin, selalu ada orang lain yang katanya “lebih baik.” Tapi kamu harus tahu, ga ada versi lain dari kamu. Kamu itu satu-satunya. Dan kamu nggak harus jadi siapa-siapa buat dicintai. Aku tahu kamu capek dan sedih tiap kali dibandingin. Kamu nggak salah. Kamu nggak kurang. Kamu unik dan sangat berharga, apa adanya. Kamu kangen figur orang dewasa ya? Aku tahu. Kadang kamu cuma pengin dia duduk di samping kamu, Aku bisa rasakan perasaan itu kosong, rindu, mungkin juga bingung....

Minimalisme : Perjalananku Menyederhanakan Hidup

Beberapa tahun lalu, aku adalah tipe orang yang suka menimbun barang. Lemari penuh, meja kerja berantakan, dan isi HP? Ratusan foto dan aplikasi yang jarang dipakai. Anehnya, makin banyak yang kupunya, makin sering aku merasa lelah—secara fisik dan mental.


Sampai suatu hari, aku membaca kalimat sederhana: “Less is more.” Awalnya terdengar klise. Tapi entah kenapa, kalimat itu nyangkut di kepala. Aku mulai cari tahu tentang minimalisme. Bukan yang ekstrem, ya. Aku enggak langsung buang semua barang atau pindah ke rumah super kosong. Tapi perlahan, aku mulai mengurangi, dan ternyata hidupku berubah.


Langkah Pertama: Merapikan yang Kusentuh Setiap Hari


Aku mulai dari meja kerja. Di situ aku sadar, 70% barang yang ada sebenarnya enggak perlu. Pensil kering, kertas catatan 2 tahun lalu, kabel yang bahkan aku lupa fungsinya. Setelah bersih-bersih, ada rasa lega yang susah dijelaskan. Seperti napas yang selama ini tertahan akhirnya bisa keluar.


Setelah itu, berlanjut ke lemari. Aku pakai metode sederhana: kalau dalam 6 bulan terakhir enggak dipakai, artinya aku enggak benar-benar butuh. Hasilnya? Aku menyumbangkan 3 tas besar pakaian, dan anehnya, justru merasa punya lebih banyak pilihan pakaian karena semua yang tersisa benar-benar aku suka dan nyaman dipakai.


Minimalisme Bukan Cuma Soal Barang


Yang enggak kalah penting, aku juga mulai menyederhanakan jadwalku. Dulu, aku gampang bilang iyake semua ajakan—nongkrong, proyek tambahan, undangan ini-itu. Akhirnya capek sendiri. Sekarang aku lebih selektif. Aku belajar bahwa istirahat dan waktu sendiri itu juga produktif.


Begitu juga dengan dunia digital. Aku unfollow akun-akun yang bikin insecure, bersihin galeri, bahkan sempat detoks media sosial seminggu. Hasilnya? Pikiran jauh lebih tenang. Aku jadi lebih hadir di momen-momen kecil yang sering terlewat.


Apa yang Aku Dapat?


Bukan sekadar ruangan yang lebih rapi, tapi juga ruang dalam diri yang lebih lapang. Aku belajar membedakan mana yang penting dan mana yang hanya memenuhi ruang kosong. Aku enggak bilang hidupku sekarang sempurna—tapi rasanya lebih ringan. Dan kadang, itu jauh lebih penting.

Kalau kamu sedang merasa sumpek, mungkin bukan karena kamu kurang punya sesuatu, tapi karena terlalu banyak memegang hal yang sebenarnya enggak perlu. Cobalah mulai dari satu sudut kecil—dan rasakan sendiri bagaimana rasanya punya ruang lebih, di rumah maupun di hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Road Trip ku!

Sunsets, Surf, and Smile.. Bali

Siapa di Balik Layar? Mengungkap indentitas Pria Balik Layar